|
Tuan Guru Muhammad Syarwani Abdan Al-Banjari, Bangil |
Mutiara Pencetak Para Ulama
Setiap ahad ketiga bulan Shafar ada pemandangan istimewa di kota Bangil. Ribuan ummat Islam dari pulau Kalimantan, khususnya suku Banjar, mulai masyarakat biasa, sampai para pembesarnya, kalangan ulama maupun kalangan pejabatnya, mulai para Bupati hingga orang nomor satu provinsi Kalimantan Selatan, membanjiri Kota Bangil. Tidak ketinggalan kaum muslimin pecinta ulama dan aulia di seluruh Indonesia bahkan dari luar negeri turut larut pada di tengah-tengah kota bordir itu.
Kecintaan mereka yang begitu besar membuat mereka rela menyeberang lautan untuk ikut menghadiri haul ulama panutan mereka, Tuan Guru Bangil yang memiliki nama lengkap KH. M. Syarwani Abdan bin Haji Muhammad Abdan bin Haji Muhammad Yusuf bin Haji Muhammad Shalih Siam bin Haji Ahmad bin Haji Muhammad Thahir bin Haji Syamsuddin bin Saidah binti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Tuan Guru Bangil dilahirkan pada tahun 1334 H/1915 M di kampung Melayu Ilir Martapura. Sejak kecil Beliau sudah memiliki himmah (perhatian / semangat) yang tinggi untuk belajar ilmu agama. Karena ketekunannya dalam belajar, Beliau sangat disayangi oleh para gurunya ketika masih berdomisili di Martapura. Diantara guru beliau adalah pamannya sendiri yaitu KH. M. Kasyful Anwar, Qadhi Haji Muhammad Thaha, KH. Ismail Khatib Dalam Pagar dan banyak lagi yang lainnya.
Pada usia masih sangat muda beliau meninggalkan kampung halamannya Martapura menuju pulau Jawa dan bermukim di Bangil dengan maksud memperdalam ilmu agama kepada beberapa ulama di Kota Bangil dan Pasuruan. Di antara guru beliau adalah KH. Muhdhar Gondang Bangil), KH. Abu Hasan (Wetan Alun Bangil), KH. Bajuri (Bangil) dan KH. Ahmad Jufri (Pasuruan). Orang tua beliau sendiri pada saat itu memang sudah lama berdiam di Kota Bangil untuk berniaga.
Dua Mutiara Banjar
Saat beliau berumur 16 tahun, pamannya Syekh Muhammad Kasyful Anwar seorang ‘Aalimul Allamah (seorang yang sangat luas dan mendalam ilmu agamanya), hingga Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin H. Abdul Ghani AlBanjari (Abah Guru Sekumpul) pernah menyebutnya sebagai seorang Mujaddid (pembaharu), oleh membawa beliau pergi ke Tanah Suci Mekkah bersama saudara sepupunya yaitu Syekh Muhammad Sya’rani Arif, yang dikemudian hari juga dikenal sebagai seorang ulama besar di Martapura.
Selama berada di Tanah Suci kedua pemuda ini dikenal sangat tekun mengisi waktu dengan menuntut ilmu ilmu agama. Keduanya mendatangi majelis majelis ilmu para ulama besar Mekkah pada waktu itu. Di antara guru guru beliau yaitu Sayyid Amin Kutby, Sayyid Alwi Al-Maliki, Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Muhammad al-Araby, Sayyid Hasan Al-Masysyath, Syeikh Abdullah Al-Bukhari, Syeikh Saifullah Daghestani, Syeikh Syafi’i asal Kedah, Syeikh Sulaiman asal Ambon, dan Syekh Ahyad asal Bogor.
Rupanya ketekunan belajar dua keponakan Syeikh Muhammad Kasyful Anwar ini diperhatikan oleh para guru-gurunya. Diceritakan bahwa para gurunya itu sangat menyayangi keduanya. Ketekunan dan kecerdasan mereka sangat menonjol hingga dalam beberapa tahun saja keduanya sudah dikenal di Kota Mekkah hingga keduanya dijuluki “Dua Mutiara dari Banjar”. Tak mengherankan jika keduanya di bawah bimbingan Sayyid Muhammad Amin Kutby, bahkan sempat mendapatkan kepercayaan mengajar selama beberapa tahun di Masjidil Haram.
Selain mempelajari ilmu ilmu syariat, Beliau juga mengambil bai’at tarekat dari para masyayikh di sana, diataranya bai’at Tarekat Naqsyabandiyah dari Syekh Umar Hamdan dan Tarekat Samaniyah dari Syeikh Ali bin Abdullah Al-Banjari. Setelah kurang lebih sepuluh tahun menuntut ilmu di Kota Makkah, pada tahun 1939 bersama sepupunya Tuan Guru Bangil kembali pulang ke Indonesia dan langsung menuju tanah kelahirannya, Martapura.
Sang Wali Mastur
Sepulang kepulangan beliau dari Mekkah ia menyelenggarakan mejelis-majelis ilmu di rumahnya. Beliau sempat juga mengajar di Madrasah Darussalam. Tuan Guru Bangil kemudian diminta untuk menjadi seorang qadhi, namun hal tersebut ditolaknya karena beliau lebih senang berkhidmat kepada ummat tanpa terikat dengan lembaga apapun. Selanjutnya, pada tahun 1943 Beliau pergi ke Kota Bangil dan sempat membuka majelis untuk lingkungan sendiri hingga tahun 1944. Di samping itu Beliau juga sempat berguru kepada Syeikh Muhammad Mursydi, Mesir. Setelah setahun di Bangil, Beliau lalu kembali lagi ke Martapura. Kemudian pada tahun 1950, Beliau sekeluarga memutuskan untuk hijrah ke Kota Bangil.
Guru Bangil, demikian Alm. Abah Guru Sekumpul memanggil beliau di manapun beliau tinggal senantiasa berada dalam keseharian yang sangat sederhana, hingga tak banyak yang tahu bahwa Beliau adalah tokoh besar. Selain pakaiannya yang sederhana, di kamar tidurnya pun Beliau tidak menggunakan ranjang. Beliau juga tidak mempunyai lemari khusus untuk pakaiannya, pakaian miliknya diletakkan menumpang pada bagian lemari kitabnya. B seorang yang telah mengambil jalan Khumul (menjauh dari keramaian) dan tak berharap akan kemasyuran, hingga Almarhum Mbah Hamid Pasuruan pernah mengatakan “Saya ingin sekali seperti Kyai Syarwani, Beliau itu alim tapi Mastur tidak Masyhur. Kalau saya ini sudah terlanjur Masyhur, jadi saya sering kerepotan karena harus menemui banyak orang, menjadi orang masyhur itu tidak mudah, bebannya berat, kalau Kyai Syarwani itu enak, tidak banyak didatangi orang”.
Suatu ketika, sejumlah kyai berkumpul dan berinisiatif untuk mendalami ilmu agama dalam halaqah khusus kepada Kyai Hamid Pasuruan, namun setelah hal tersebut disampaikan kepada Kyai Hamid beliau menolak permintaan itu seraya menyarankan supaya mereka mendatangi KH. Syarwani Abdan. Berdasarkan arahan Kyai Hamid, merekapun mendatangi KH. Syarwani Abdan dan menyiapkan beberapa pertanyaan untuk sekdar mengetahui seberapa dalam ilmu dari KH Syarwani Abdan. Ketika mereka datang, Guru Bangil sedang duduk sambil membaca sebuah kitab. Di awal pembicaraan, sebelum mereka sempat membuka pertanyaan yang telah mereka persiapkan, Guru Bangil mendahului bertanya kepada mereka, “Antum ke sini ingin bertanya masalah ini dan itu, kan?. Beliau menanyakan hal itu sambil menunjuk kitab yang masih terbuka tadi. Kontan hal ini membuat mereka takjub sekaligus kagum. Ternyata semua pertanyaan yang telah mereka persiapkan, dengan tepat terjawab dalam halaman kitab yang masih terbuka di tangan beliau itu, subhanallah.
Setelah menyaksikan kealiman Guru Bangil, mereka meminta kepada Beliau untuk membuka majelis untuk mereka. Beliau tidak serta merta mengabulkan permintaan mereka, tetapi terlebih dahulu menanyakan hal tersebut kepada Kyai Hamid. Setelah Kyai Hamid memberi isyarat persetujuan, barulah Beliau bersedia membuka majelis untuk para kyai ini, subhanallah Kedua kyai besar yang tawadhu’ ini memang saling mencintai dan menghormati satu sama lain.
Kyai Hamid adalah ulama besar yang kharismatis dan menjadi tujuan kedatangan banyak orang, karenanya tak jarang orang yang datang kesulitan menemui beliau, tapi anehnya berdasarkan pengalaman orang orang yang pernah bertemu beliau, mereka akan mudah menemui Kyai Hamid bila sebelumnya orang tersebut menemui KH. Syarwani Abdan. Tak jarang baru sampai di depan pintu, Kyai Hamid sendiri yang membukakan pintu kepada para tamu, entah Sirr (rahasia) apa yang didapat oleh para tamu Kyai Syarwani Abdan, hingga Kyai Hamid selalu menyambut mereka dengan penuh suka cita padahal pada saat itu belum ada alat komunikasi seperti sekarang.
Guru Para Ulama
Atas dasar dorongan para ulama serta rasa tanggungjawabnya untuk menyiarkan ilmu ilmu agama, maka pada tahun 1970 Tuan Guru Bangil memutuskan mendirikan pesantren yang diberi nama PP. Datuk Kalampayan, nama yang diambil untuk mengambil berkah julukan datuknya yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Para santrinya banyak berasal dari Banjar hingga pondok pesantren itu sendiri sering disebut Pondok Banjar.
Dari hasil didikan Tuan Guru Bangil lahirlah murid murid beliau yang menjadi ulama-ulama besar. Di antaranya adalah yang mulia Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al-Banjari, Kyai Abdurrahim, Kyai Abdul Mu’thi, Kyai Khairan (daerah Jawa), KH. Prof. Dr. Ahmad Syarwani Zuhri (Pimpinan PP. Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari Balikpapan), KH.Muhammad Syukri Unus (Pimpinan MT Sabilal Anwar al-Mubarak Martapura), KH. Zaini Tarsyid (Pengasuh MT Salafus Shaleh Tunggul Irang seberang Martapura) yang juga menantu beliau, KH. Ibrahim bin KH. Muhammad Aini (Guru Ayan) Rantau, KH. Ahmad Bakeri (Pengasuh PP. Al-Mursyidul Amin Gambut), KH. Syafii Luqman, Tulung Agung, KH. Abrar Dahlan (Pimpinan PP di Sampit, Kalimantan Tengah), KH. Safwan Zuhri (Pimpinan PP Sabilut Taqwa Handil 6 Muara Jawa Kutai Kertanegara) dan banyak lagi tokoh tokoh lainnya yang tersebar di penjuru Indonesia.
Menghadap Ilahi
Setelah sekian banyak mencetak kader ulama dan berkhidmat dalam dakwah, meningkatkan ilmu dan amal bagi murid-murid dan masyarakat luas, akhirnya pada malam Selasa jam 20.00, tanggal 11 September 1989 M bertepatan dengan 12 Shafar 1410 H, Guru Bangil wafat dalam usia lebih kurang 74 tahun. Beliau kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga dari para habaib bermarga al-Haddad, berdekatan dengan makam Habib Muhammad bin Ja’far al-Haddad, di Dawur, Kota Bangil yang berjarak tidak jauh dari rumah dan pondok pesantren yang beliau bangun. Makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat Muslim dari berbagai penjuru daerah, tak terkecuali dari Kalimantan Selatan.
Guru Bangil banyak meninggalkan contoh yang patut untuk diteladani, beliau meninggalkan kebaikan yang layak untuk dikenang, dan beliau meninggalkan warisan publik yang patut untuk diikuti. Kehadiran beliau di tengah masyarakat Banjar dan Bangil terasa sangat luar biasa. Untuk memperingati dan mengingat jasa-jasa beliau, serta untuk mengikuti jejak dan perjuangan beliau dalam mendakwahkan Islam, setiap tahun, yakni setiap tanggal 12 Shafar diadakan haul Guru Bangil, yang selalu dihadiri oleh ribuan jamaah dari berbagai, terutama jamaah dari Kalimantan serta murid-murid beliau.
sumber: mediaummat.co.id